Menyusuri jalanan Kota Santri, Kudus, sungguh nyata terlihat kebanggaan daerah produsen rokok terbesar Nusantara ini. Kudus yang dikenal juga sebagai pusat penghasil rokok semakin memperkokoh eksistensinya sebagai kota kretek. Kudus dan kretek ibarat lem yang tak bisa terpisahkan. Keberadaan ratusan pabrik rokok dengan berbagai merek di kota ini tak bisa dianggap remeh. Justru dari kreteklah, Kudus dapat berkembang pesat karena begitu besar peran kretek dalam mengangkat perekonomian, sosial, dan budaya masyarakatnya.
Kisah perjalanan kretek sendiri memang belumlah akurat sumbernya. Namun, banyak leluhur yang menceritakan bahwa kisah kretek bermula dari Haji Djamhari, seorang pria asal Kudus yang pada medio tahun 1880 menderita asma dan sesak napas akut. Secara tak sengaja, Haji Djamhari menggosok-gosokkan minyak cengkeh ke dadanya. Setelah itu, sakitnya pun reda. Lalu ia mencoba meraciknya dengan bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Setelah dibakar hasilnya penyakitnya berangsur-angsur sembuh.
Lantas ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan “rokok obat” ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Kemudian dia mulai memproduksi rokok yang dicampur cengkeh dengan jumlah besar dan diperdagangkan di toko-toko obat karena dipercaya sebagai produk kesehatan. Mula-mula dinamakan rokok cengkeh. Ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek”.
Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat, di mana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang. Sementara buntalan tembakau yang bernama roko atau rokok ternyata berasal dari bahasa Belanda yang artinya berasap. Industri kretek di Kudus akhirnya tumbuh sebagai industri yang unik. Dalam pemerintahan yang dikendalikan oleh bangsa asing, dan dalam perekonomian yang didominasi oleh modal asing, industri kretek di Kudus tumbuh dan berkembang sebagai basis usaha pribumi.
“Rokok kretek juga tak bisa lepas dari nama besar Nitisemito. Jika Haji Djamhari dikenal sebagai penemu kretek, nama Nitisemito bolehlah disebut sebagai perintis industri rokok sekaligus rajanya kretek di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906. Awalnya, Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok cap kodok makan ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Pada tahun 1908, julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito),” papar Suyanto, BA, Kepala Pengelola Museum Kretek Kudus kepada Kabare.
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar di atas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat, Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari. Untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. “Pada masanya, Nitisemito cukup cerdas dalam memasarkan produknya. Salah satunya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta,” jelas Suyanto.
Setelah Nitisemito bangkrut, dikarenakan perebutan ahli waris, maka jalan mulus untuk mendirikan pabrik rokok lain sangat terbuka bagi calon pengusaha kretek lainnya. Munculnya perusahaan rokok lain, seperti Nojorono (Class Mild) di tahun 1930, Djamboe Bol (1937), Djarum (1951), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga. Pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 hingga masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.
Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut-sebut juga karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.
Pada tahun 1930, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan markasnya ke Kudus. Untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini, seperti rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma’roef, rokok Sukun milik M. Wartono, dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan.
“Mengenai sejarahnya, dulu Bapak Oei Wie Gwan tidak mendirikan Djarum dari nol, tapi dari perusahaan rokok NV. Murup milik Haji Muhammad Siradj. Karena hendak bangkrut, kemudian dibeli oleh Pak Oei. Dan tepat pada hari pertama Djarum resmi memiliki cukai sendiri pada 21 April 1951, saat itulah ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Djarum. Kini, Djarum sudah dipegang oleh generasi ketiga dan semakin berkembang,” papar Marwan Ardiansyah, Corporate Affairs Staff PT. Djarum kepada Kabare.
Djarum yang merupakan salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia memiliki banyak brand. Beberapa di antaranya telah lama diekspor keluar negeri. Bahkan Djarum sudah memiliki pabrik di Brazil demi menunjang kemajuan perusahaan tersebut.
Menurut Marwan, rokok kretek dibedakan berdasarkan proses pembuatannya. Rokok kretek yang bahan bakunya berasal dari daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu ini memiliki dua cara pembuatan, yakni dengan sistem SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan SKM (Sigaret Kretek Mesin).
Oey Riwayat Slamet, Manager SKT PT. Djarum menjelaskan bahwa SKT merupakan proses pembuatan kretek dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana. Bentuk rokok SKT lebih menyerupai terompet karena diameter pangkal atas lebih lebar dari pangkal bawah. Biasanya dalam 5 jam kerja, setiap satu tim yang terdiri dari dua karyawan SKT mampu menghasilkan 4.000 rokok kretek. Khusus untuk merek Djarum Coklat, setiap harinya, Djarum mampu menghasilkan 3 juta rokok kretek dengan 2.000 lebih karyawan. Saat ini, Djarum memiliki 3 brand rokok SKT yakni Djarum 76, Djarum Coklat, dan Djarum Istimewa.
Sedangkan Djarum Super, Djarum Special, dan Djarum Splash, serta Djarum Bali Hai (SKM) dalam proses pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Saat ini mesin pembuat rokok telah mampu menghasilkan keluaran sekitar enam ribu sampai delapan ribu batang rokok per menit. Mesin pembuat rokok, biasanya, dihubungkan dengan mesin pembungkus rokok sehingga keluaran yang dihasilkan bukan lagi berupa rokok batangan namun telah dalam bentuk pak. Pada SKM, lingkar pangkal rokok dan lingkar ujung rokok sama besar.
Dari sekian banyak rokok kretek, PR (Perusahaan Rokok) Sukun merupakan salah satu produsen rokok yang sejak berdiri hingga sekarang masih terus memproduksi rokok klobot. Rokok klobot adalah campuran tembakau dan cengkeh yang dilinting menggunakan daun jagung kering (klobot). Pertama kali diproduksi, rokok klobot buatan PR Sukun dikerjakan oleh 10 orang. Saat itu, rokok memang masih bersifat home industry dan jumlahnya sekitar 2.000-5.000 batang per hari. Menurut Deka Hendratmanto, Kepala Bagian Humas PR Sukun, merek rokok klobot pertama yang dikeluarkan PR Sukun adalah Siyem.
“Hingga saat ini, memang hanya Sukun yang mempertahankan produksi rokok klobot. Kenapa? Karena pendiri PR Sukun Mc Wartono memang berpesan kepada kami, generasi penerusnya, untuk tetap memproduksi rokok klobot. Ini juga menjadi ciri khas Sukun yang konsisten mengangkat rokok klobot sehingga tetap dikenal masyarakat,” ujar Anton, sapaan akrab Deka Hendratmanto kepada Kabare.
Di PR Sukun juga, kita dapat menyaksikan produksi rokok klobot bermerek Sukun Klobot dengan dua flavor yakni manis dan tawar. Rokok klobot ini masuk dalam proses jenis SKT dan uniknya, diproduksi oleh para karyawan yang sudah lama mengabdi di perusahaan ini. Semasa hidupnya, Mc. Wartono selalu berpesan bahwa jangan pernah penerusnya mem-PHK para karyawan rokok klobot, sampai karyawan itu sendiri yang meminta berhenti. Inilah sebuah bentuk upaya penghormatan dan penghargaan kepada para karyawan yang dinilai berjasa dalam membesarkan perusahaan yang kini memiliki 16 brand rokok SKT tersebut.
Di tingkat nasional, PR Sukun hanyalah satu dari empat perusahaan rokok nasional yang masih memproduksi rokok klobot. Tiga perusahaan lainnya adalah PT. Gudang Garam Kediri, PT. Bokormas Mojokerto, dan PT. Ongkowijoyo Malang. Saat ini, produksi rokok klobot PR Sukun dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 20.000 batang per hari. Perkembangan rokok klobot secara nasional memang menurun setelah tahun 1950, di mana perkembangan industri rokok kretek beralih ke cigarette paper (orang biasa menyebutnya papir). Dikembangkannya SKM di tahun 1980-an juga membuat rokok klobot semakin tersisih.
“Meski begitu, konsumen rokok klobot bukan berarti hilang sama sekali. Hingga kini, permintaan rokok klobot tetap ada meski terus berkurang secara alami. Biasanya para nelayan atau masyarakat yang hidup di wilayah pesisir Pantura dan para petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur tetap menjadi konsumen utama dalam pembelian rokok klobot. Kebanyakan mereka berpendapat sama, yakni rokok klobot tidak mudah rusak jika kena air dan jika mati, rokok klobot tetap enak disulut kembali,” papar Anton.
Rasa menjadi hal utama dalam pembuatan rokok kretek. Sebenarnya, elemen rokok kretek terdiri dari tembakau, cengkeh, dan saus. Banyak daerah di Nusantara ini yang menjadi pemasok tembakau perusahaan rokok di tanah air. Beberapa di antaranya adalah Temanggung, Lombok, Garut, Mranggen, Muntilan, Madura, Bojonegoro, Jember, dan Krasakan (nama desa daerah Paiton). Tembakau yang telah disimpan akan diproses untuk memberikan rasa sebelum dicampur dengan cengkeh rajangan yang telah kering, kemudian dijadikan bahan campuran yang akan diolah menjadi rokok. Campuran akhir, atau biasa disebut “cut filler,” akan disimpan di dalam lumbung berukuran besar sebelum memasuki proses produksi.
Setelah dipanen dan dikeringkan, tembakau dan cengkeh dikirim ke tempat produksi. Tembakau disimpan selama tiga tahun dalam lingkungan yang terkontrol untuk meningkatkan cita rasanya. Cengkeh juga harus melalui proses penyimpanan selama setahun sebelum dapat diproses dan dirajang. Dua material utama tersebut kemudian diberi saus. Untuk tembakau ada grade tertentu yang nantinya akan dipakai sebagai bahan baku rokok kretek.
“Selain itu, ada dua kelompok besar saus, yang membuat efek pada rasa disebut casing, kemudian untuk bau atau aroma disebut flavor. Beberapa contoh flavor yang dipakai untuk rokok kretek di antaranya kayu manis, vanilla, ekstrak kopi, cappuccino dan black tea,” jelas Teguh, Corporate Affairs PT. Djarum.
Mengenai rasa, tentu lain orang lain pula seleranya. Banyaknya brand dalam satu perusahaan rokok memperjelas bahwa selera setiap orang berbeda. Setiap brand juga dibuat berdasarkan perbedaan karakteristik masing-masing penikmatnya. Sukun, Djarum dan lainnya pun demikian. Tentunya, keberadaan industri rokok kretek di Kudus tak hanya mampu mengangkat budaya kretek itu sendiri, namun juga perekonomian serta kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Teks: Della Yuanita; Foto: Budi Prast
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar