Baru saja penataan jaringan 4G LTE tuntas dilakukan, industri telekomunikasi Indonesia langsung bergerak cepat membahas 5G. Dengan teknologi jaringan mobile generasi berikutnya ini, pengguna bisa mengakses internet secara nirkabel dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya.
Kabarnya, kecepatannya bisa mencapai 20 GB per detik. Namun, apakah konsumen yang sehari-harinya menggunakan ponsel untuk akses e-mail, media sosial, dan streaming video perlu koneksi lebih cepat dari yang sudah ada sekarang?
“Sebelum mengimplementasikan 5G, kita harus melihat teknologi ini dari sisi yang lain. Apa kebutuhan masyarakat? Kemudian model bisnis operator seperti apa?” kata Menkominfo Rudiantara saat membuka acara “Next Generation Broadband – 5G Forum” di Jakarta, Kamis (19/11).
Acara yang diadakan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) dan ZTE Corporation itu memang bertujuan untuk memancing diskusi antara pihak-pihak terkait, seperti pakar telekomunikasi, pemerintah, dan operator, mengenai manfaat dan penerapan teknologi komunikasi mobile generasi kelima ini di Indonesia. Bukan untuk mengumumkan ketersediaannya.
“Dari hasil acara ini akan kita lihat, kebutuhan TIK di Indonesia seperti apa,” tutur Presiden Direktur ZTE Indonesia, Mei Zhonghua saat membuka acara.
Kapan 5G meluncur?
Diperkirakan, teknologi 5G tersedia pada tahun 2020, itu pun tidak lantas masuk Indonesia. Menurut Rudiantara, salah satu negara pertama yang akan menerapkannya adalah Jepang, saat Olimpiade 2020 di Tokyo. Meski begitu, ia sendiri belum yakin mereka sudah punya model bisnis yang solid.
Peluncuran di Olimpiade lebih untuk memanfaatkan momentum. Hal serupa sempat dilakukan oleh Cina, yang meluncurkan 3G berbarengan dengan Olimpiade 2008 di Beijing.
“Waktu itu, masih perlu beberapa tahun lagi sebelum 3G berkembang, karena model bisnisnya belum ada. Karena, pada akhirnya, model bisnis lah yang menentukan,” ujar Rudiantara.
5G untuk siapa?
Dengan kecepatan 4G saat ini, bisa dibilang kebutuhan konsumen yang menggunakan perangkat mobile sudah terpenuhi. Seperti misalnya untuk streaming video, 4G masih cukup bisa diandalkan untuk menyajikan konten 4K dengan lancar. Kebanyakan aplikasi-aplikasi mobile pun tidak, setidaknya belum, menuntut jaringan super cepat.
Rudi mengatakan dengan lugas, pihak yang berkepentingan, seperti operator dan penyedia alat telekomunikasi, tidak peduli dengan teknologinya. Mereka lebih mengincar kontrol atas teknologi tersebut untuk bisa meraih bottom line alias laba bersih.
“Konsumen sebenarnya tidak peduli kalau ada kresek-kresek saat menelepon. Mereka peduli dengan harganya. Teknologi 5G ini apakah akan terjangkau?” tambah Rudiantara.
Lalu, ketika konsumen belum butuh, pihak mana yang dapat mengaplikasikan 5G. Menurut Rudiantara, teknologi ini tampaknya lebih ideal buat korporat.
“Misalnya untuk komunikasi M2M (Machine to Machine),” ujarnya.
Sekilas, Rudiantara seakan mempertanyakan, niat industri mengakselerasi adopsi 5G sebenarnya sebagai solusi masalah kita, yaitu konsumen, atau mereka?
Menyinggung tentang Project Loon versi Indonesia
Dalam kesempatan yang sama, Rudiantara memberikan sedikit update tentang Project Loon, yaitu balon ber-BTS dari Google, yang dijadwalkan mengudara tahun depan. Ia mengatakan, Google tidak diizinkan beroperasi sebagai operator dan punya pelanggan sendiri.
Pemerintah hanya mengizinkan Project Loon bekerja sama secara teknis dengan operator yang sudah ada di Indonesia. Salah satunya karena frekuensi yang diminta Google, 900 MHz, adalah milik operator.
Sambil Project Loon tetap berjalan, ia mengungkapkan kalau pemerintah sedang mencoba mengimplementasikan teknologi serupa di Indonesia. Bedanya, jika Project Loon adalah BTS yang dipasang di balon, maka karya anak bangsa ini memasang router. Frekuensi yang digunakan adalah frekuensi Wi-Fi. Sayangnya, ia tidak menyebutkan pihak mana yang mengembangkan proyek ini.
“Yang pasti, pengembangannya dilakukan oleh orang Indonesia. Kita tunggu saja kuartal pertama (2016),” katanya.
Cepat atau lambat, siap atau tidak, teknologi 5G akan tiba. Mungkin nanti akan ada masalah yang hanya bisa diatasi dengan kecepatan jaringan itu. Akan tetapi, sebelum menuju ke sana, yang jaraknya masih empat sampai lima tahun lagi, apakah kita sudah memaksimalkan jaringan yang ada saat ini? Dan, apakah kecepatan yang kita dapat sesuai dengan apa yang dijanjikan operator?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar