Pada tanggal 12 September 1962, di tengah persaingan sengit dengan Uni Sovyet terkait dominasi di luar angkasa, presiden AS saat itu, John F. Kennedy menyampaikan pidato yang begitu dahsyat di depan 50 ribu orang di sebuah stadion sepakbola di Rice University di Houston, Texas. Pidato itu kemudian terus diingat sebagai sebuah tonggak sejarah Amerika Serikat, yang mampu menggerakkan seluruh negeri untuk bergerak bersama, mengejar ketertinggalan.
“We choose to go to the moon. We choose to go to the moon in this decade and do the other things, not because they are easy, but because they are hard, because that goal will serve to organize and measure the best of our energies and skills, because that challenge is one that we are willing to accept, one we are unwilling to postpone, and one which we intend to win, and the others, too.”
“Kita memilih untuk pergi ke bulan. Kita memilih untuk pergi ke bulan di dekade ini , dan juga melakukan banyak hal lain, bukan karena itu (pergi ke bulan) adalah hal yang mudah dilakukan, namun justru karena hal tersebut sulit dilakukan. Karena untuk bisa mencapai tujuan itu,bangsa kita harus mampu mengerahkan segenap daya, upaya, dan seluruh keahlian kita, sebuah tantantan besar yang kita sudah sepakat menerimanya, dan tidak menundanya, dan tekad kita itu menang.”
Tujuh tahun setelah pidato menggetarkan itu, tepatnya 20 Juli 1969, astronot-astronot Apollo 11 yakni Neil Amstrong dan Buzz Aldrin memenuhi visi Kennedy, mendarat di permukaan bulan, dan kembali ke bumi dengan selamat 4 hari kemudian.
Di masa dan tempat yang lain, seorang yang kurus tinggi memasuki sebuah ruangan besar yang berisi ratusan petambang di Duisburg, Jerman barat. Waktu itu, 10 Desember 1964, pria tinggi yang berwajah tegang tersebut melihat kerumunan pekerja-pekerja petambang dari Korea Selatan tersebut dengan mata nanar, dan tak lama kemudian air matanya tumpah. Si pria itu adalah Park Chung-hee, presiden Korsel kala itu yang mengunjungi para pekerja korsel yang merantau menjadi petambang di Jerman.
Dengan mata yang masih berair, suaranya yang berat dan serak memulai pidato historisnya.
“Melihat kulit kalian yang menghitam, hati saya tergores perih. Kalian semua menyabung nyawa setiap hari, masuk ribuan meter ke perut bumi, untuk mencukupi kebutuhan kalian. Betapa miskinnya kalian, wahai rakyatku. Kalian semua menembus hari-hari yang begitu berat, hanya karena Korea saat ini sangat miskin.”
Mulailah 400-an penambang menundukkan wajahnya, dan sang presiden berdiam sejenak. Dan sua”Meskira beratnya kini menggema lagi di seluruh ruangan.
“Meskipun kita sedang mengalama masa-masa yang begitu sulit, jangan pernah berpikir untuk mewariskan kemiskinan dan kekurangan-kekurangan kita kepada anak cucu kita. Kita harus bekerja keras saat ini untuk mengakhiri lingkaran kemiskinan, sehingga generasi mendatang tak lagi harus mengalami apa yang kita alami saat ini”.
Empat puluh tahun kemudian, masyarakat Korea Selatan tak lagi miskin, dan bahkan kini setara dengan Jerman, tujuan orang-orang tua mereka merantau mencari uang.
Korea, dan AS adalah dua dari banyak bangsa yang mampu mencipatkan visi, dan menggerakkan seluruh bangsa untuk bersama-sama mencapainya. Kennedy, dan Park mampu menterjemahkan visi tersebut secara menggetarkan. Kita tentu sepakat, pidato mereka takkan pernah cukup untuk mencapai hasil hasil yang keduanya raih saat ini. Dibaliknya adalah jutaan rakyat dengan visi yang sama, tujuan yang sama, yang berani bermimpi besar, mampu berpikir besar, mampu berbuat besar, dan berani mengorbankan kepentingan pribadi dan jangka pendek mereka untuk tujuan yang jauh lebih besar dari hidup mereka.
Dan rasanya, itulah yang saat ini dibutuhkan oleh bangsa kita. Rakyat, dalam jumlah besar, yang punya visi besar akan bangsa Indonesia, dan berani berkorban untuk sebuah kepentingan yang lebih besar dari hidupnya. Berbeda pendapat tentu hal biasa, namun hati masing-masing dari kita anak bangsa Indonesia, tetap satu visi, satu tujuan, dan hanya dengan inilah bangsa besar ini akan benar-benar menjadi besar di mata dunia. Hanya dengan semangat ini, kita tak hanya mampu mengirim orang Indonesia menjelajahi luar angkasa, namun juga memakmurkan seluruh bangsa.
“Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita belum selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.” (Bung Karno).
Selamat Tahun Baru 2017, Indonesiaku !
Artikel ini ditulis oleh Akhyari Hananto yang sebelumnya diterbitkan di Good News from Indonesia.
Klien VOPB:
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar