Tampilkan postingan dengan label Menjual Selera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menjual Selera. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Juli 2013

Mengemas Rasa, Menjual Selera

 


Menyusuri jalanan Kota Santri, Kudus, sungguh nyata terlihat kebanggaan daerah produsen rokok terbesar Nusantara ini. Kudus yang dikenal juga sebagai pusat penghasil rokok semakin memperkokoh eksistensinya sebagai kota kretek. Kudus dan kretek ibarat lem yang tak bisa terpisahkan. Keberadaan ratusan pabrik rokok dengan berbagai merek di kota ini tak bisa dianggap remeh. Justru dari kreteklah, Kudus dapat berkembang pesat karena begitu besar peran kretek dalam mengangkat perekonomian, sosial, dan budaya masyarakatnya.
Kisah perjalanan kretek sendiri memang belumlah akurat sumbernya. Namun, banyak leluhur yang menceritakan bahwa kisah kretek bermula dari Haji Djamhari, seorang pria asal Kudus yang pada medio tahun 1880 menderita asma dan sesak napas akut. Secara tak sengaja, Haji Djamhari menggosok-gosokkan minyak cengkeh ke dadanya. Setelah itu, sakitnya pun reda. Lalu ia mencoba meraciknya dengan bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Setelah dibakar hasilnya  penyakitnya berangsur-angsur sembuh.
Lantas ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan “rokok obat” ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Kemudian dia mulai memproduksi rokok yang dicampur cengkeh dengan jumlah besar dan diperdagangkan di toko-toko obat karena dipercaya sebagai produk kesehatan. Mula-mula dinamakan rokok cengkeh. Ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek”.
Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat, di mana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang. Sementara buntalan tembakau yang bernama roko atau rokok ternyata berasal dari bahasa Belanda yang artinya berasap. Industri kretek di Kudus akhirnya tumbuh sebagai industri yang unik. Dalam pemerintahan yang dikendalikan oleh bangsa asing, dan dalam perekonomian yang didominasi oleh modal asing, industri kretek di Kudus tumbuh dan berkembang sebagai basis usaha pribumi.